Hi sahabat virtual. Mohon maaf atas kondisi blog yang berdebu ini, entah bagaimana saya melupakannya dan mendapati tulisan terakhir adalah di bulan Agustus tahun lalu. Ini seperti mendapati sepeda lipat karatan yang lama tak terpakai. Dilihat malas, diurus juga perlu usaha, tapi ternyata dia berharga. Yes, persis kondisi blog ini.
Asal mulanya menulis kembali adalah teguran dari seorang sahabat saat berkunjung ke Flinders Station, dia adalah potret seorang anak Indonesia yang tetap berprestasi ditengah segala keterbatasan ekonomi keluarga. Saat ini melanjutkan jenjang master di Australia dengan beasiswa LPDP.
“Bli, murtad lo, pindah dari beasiswa LPDP ngambil beasiswa AAS. Tapi gua salutlah, buruan update blog lo itu, tambahin itu list 7 beasiswa yang lo dapet dari jaman kuliah sampai 2 terakhir ini, bukan sombong tapi memotivasi pejuang beasiswa lainnya Bli“

Ternyata sahabat ini juga mengikuti blog saya, jadi dia paham apa yang saya tulis mengenai beasiswa disini . Tentunya dia juga paham bahwa saya tipikal penulis malas, tidak berbakat, dan sangat konsisten untuk tidak konsisten menulis 🙂
Persis seperti tulisan tahun lalu, saya sangat berniat untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Prosesnya di mulai di medio Februari 2015 saat beasiswa LPDP batch 2 dibuka. Bagi yang awam tentang beasiswa LPDP silahkan buka tautan ini . Syarat – syarat secara lengkap saya penuhi, termasuk rekomendasi dari dosen sekaligus mentor yang saat ini sedang melanjutkan studi doktoralnya di Jepang. Menurut saya rekomendasi sangat vital , karena ini berisi penilaian orang lain terhadap diri kita sendiri. Isinya tentu lebih orisinil, bahkan bisa jadi membuka kelebihan ataupun kelemahan yang tidak kita sadari. Apakah rekomendasi saja cukup ? Tidak, langkah lainnya adalah melengkapi esai yang diminta. Khusus untuk beasiswa LPDP, ada esai mengenai kontribusi bagi Indonesia, ini juga tidak kalah vital mengingat dana beasiswa yang digunakan adalah dana negara, uang masyarakat Indonesia, maka seperti layaknya sebuah investasi, kita harus benar – benar dapat mengembalikannya dengan nilai lebih. Tips membuat esai secara umum adalah usahakan selalu ada proses peer review, dimana tulisan kita dibaca oleh orang lain kemudian diberikan masukan kembali. Poin pentingnya adalah ketersampaian informasi dan pengembangan ide. Saya sendiri sangat berterimakasih kepada Isna, mantan pacar yang selalu menjadi reviewer esai. Tidak jarang waktu telepon malam berubah menjadi ajang diskusi panjang, menegangkan, dan lucu karena kami sama – sama keras kepala akan pola pikir masing – masing. Belakangan kami mensyukuri diskusi tersebut, darinya muncul esai luar biasa yang menembus seleksi LPDP.
Sambil menunggu hasil seleksi LPDP, saya mencoba peluang lain melalui beasiswa Australia Awards yang legendaris itu, yang katanya jumlah pelamar 7000an orang tapi yang lolos 400an, bahkan berkurang hingga 200an untuk tahun 2016. Beda dengan LPDP yang setiap tahun menargetkan memberi beasiswa kepada 2000 anak Indonesia. Pelitnya Australia Awards itu. Tapi, siapa tahu keberuntungan ada disitu!
Yes! Isna juga siap membantu, menjadi reviewer kembali, namun kini lebih berat karena dia juga harus memotivasi penulis malas ini 🙂 Bagi yang awam tentang Australia Awards, silahkan klik tautan ini . Yang berniat serius, silahkan baca juga blog senior saya sekaligus mahaguru pencari beasiswa, Bli MadeAndi. Tidak perlu waktu lama bagi saya yang sudah mempersiapkan beasiswa LPDP, semua berkas yang sama sudah dilengkapi, essay juga dimodifikasi sesuai permintaan Australia Awards, sudah di submit, kemudian tinggal tunggu hasilnya di Bulan Desember nanti.
Di Medio Mei 2015, seleksi LPDP berlanjut, dimulai dari verifikasi dokumen, leaderless group discussion, hingga panel interview. Menurut saya, tanpa mengesampingkan bagian lainnya, panel interview adalah bagian vital. Kita akan dihadapkan pada 3 interviewer , yaitu dua orang akademisi (Profesor pada bidang tujuan) dan seorang psikolog. Penguasaan bidang tujuan, rencana riset, dan aplikasi di indonesia menjadi kunci pada tahap ini. Rekan – rekan bisa saja mengetikkan tips wawancara beasiswa LPDP di google, semuanya dengan mudah akan tersaji disana.
Singkat cerita, proses seleksi tersebut selesai. Saya tinggal menunggu pengumumannya di bulan Juni 2015. Hal lain berjalan seperti biasa, hingga tanggal 10 Juni, bahkan saya lupa hari itu adalah pengumuman LPDP. Sebuah email masuk ke akun pribadi saya, alamatnya tidak asing, dari LPDP. Ditengah rapat operasional mingguan saya sempatkan membukanya, dan voila! Saya lulus sebagai penerima beasiswa LPDP untuk jenjang Magister luar negeri. Yes! Inilah hasil perburuan ke – delapan, beasiswa ke-delapan yang diraih semenjak masa perkuliahan strata 1 di ITS. Delapan, angka yang menarik, dengan dua lobang bulat bagai donat 🙂
Setelah pengumuman itu, saya langsung melakukan pengurusan masuk The University of Sydney. Berhubung waktu yang sangat singkat, maka proses masuk universitas baru akan di mulai tahun depan. Jadi, saya punya waktu untuk mewujudkan mimpi lain sebelum kuliah. Apa itu ? Sesuatu yang memang sudah direncanakan sejak lama, tentang penyatuan dua anak manusia, untuk menciptakan anak – anak lainnya. Kawin! Ya, saya memang sudah merencanakan untuk menikahi peri kecil ini, hubungan kami sudah menginjak tahun ke – lima dan sepertinya kami, saya dan Isna, sudah siap untuk menikah. Maka berlalulah sang waktu, tenggelam dalam persiapannya, hingga sesuatu yang tak diduga terjadi, seketika mengubah fokus dan segala arah dari daya dan upaya.
Di bulan Desember 2016, muncul pengumuman tentang shortlisted beasiswa Australia Awards, intinya orang – orang dalam daftar ini akan di tes kembali untuk melanjutkan seleksi Australia Awards. Sebenarnya pengumuman ini tidak terlalu saya perhatikan, selain karena sibuk persiapan pernikahan, juga karena saya sudah menerima beasiswa LPDP. Keduanya adalah beasiswa bergengsi, jadi kalaupun saya tidak lolos Australia Awards yang katanya prestigius itu, saya tetap bisa sekolah di luar negeri dengan sangat layak melalui LPDP. Jadi, tidak ada yang perlu dikejar lagi. Paling tidak itu kesimpulan sebelum diskusi panjang lebar dengan Isna. Di tengah rutinitas telepon malam jarak jauh, Isna mengingatkan akan satu hal, akan mimpi yang pernah diucapkan, akan ambisi yang dulu pernah membuncah. Tujuan awal adalah Australia Awards, sekarang kamu sudah dikasi kesempatan, mau dibiarkan lewat ? Terlalu! Memang, Isna selalu menjadi pengingat saya, apapun itu, dia selalu menjadi pengawas dalam setiap langkah kaki ini, lama – lama dia mirip hakim garis sepakbola 🙂
Seleksi Australia Awards saya ikuti dengan sungguh – sungguh, mulai dari tes IELTS, hingga Joint Selection Team (JST) Interview. Saya pribadi merasa bersyukur bisa ikut JST ini, bersyukur diwawancarai Prof Ikrar Nusa Bhakti dan mantan Menkumham Denny Indrayana. Keduanya ternyata alumni Australia Awards, sama seperti Walikota Bogor Bima Arya, dan mahaguru beasiswa Bli Made Andi Arsana, pakar hukum laut Indonesia. Bagi saya, poin seleksi ini adalah yang terpenting, karena kita akan dipastikan kembali, ditajamkan kembali, untuk merencanakan masa depan sekembalinya dari studi di Australia. Para interviewer selalu mengutip pepatah lama, jika kalian gagal merencanakan, maka kalian merencanakan untuk gagal. Jadi mereka benar – benar mendetailkan rencana – rencana besar yang akan kita lakukan, lebih tepatnya mem-bumi-kan sesuatu yang di awang – awang.
Setelah proses seleksi selesai, saya kembali larut dalam persiapan pernikahan dengan Isna. Kami memang bertekad untuk mempersiapkan segala sesuatunya sendiri, selain karena akan ada kepuasan terhadap hasilnya nanti, tetapi juga karena memang kami sudah harus mandiri. Prosesnya melelahkan, menguras tenaga dan pikiran, hingga saya terlupa akan hasil Australia Awards. Menurut websitenya, pengumuman akan diberikan dipertengahan Februari. Namun karena periode tersebut pertepatan dengan hari raya Galungan, maka sayapun melupakan hasilnya, lebih memilih untuk sibuk mendirikan penjor di rumah. Ya, saya memang sedang mengambil cuti panjang saat itu, jadi memang sangat sibuk di Bali 🙂 . Saya khusyuk beribadah di puncak perayaan hari raya Galungan, saya memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar semua rencana dimudahkan, studi, pernikahan, karir, dan kesehatan keluarga. Di tengah kekhusyukan itu, tiba – tiba telepon seluler saya bergetar, sengaja saya abaikan karena sedang beribadah. disamping itu karena saya sedang cuti sehingga semua urusan pekerjaan saya kesampingkan dahulu. Beberapa saat kemudian, saya cek telepon selular, ternyata sebuah email dari Australia Awards. Tepat di hari raya Galungan, 10 Februari 2016, saya lolos sebagai penerima beasiswa Australia Awards. Hasil perburuan ke-sembilan, beasiswa ke-sembilan yang saya terima semenjak masa perkuliahan strata – 1 di ITS. Angka sembilan juga angka yang menarik, angka tertinggi, dengan hasil perkalian yang akan selalu bernilai sembilan apabila dijumlahkan. Angka sembilan yang penuh misteri 🙂
Bagi yang sudah membaca sejauh ini, terimakasih, saya yakin perlu usaha ekstra membaca tulisan panjang ini, apalagi bagi yang membaca dari layar Iphone 6S plus, walaupun besar tetap saja akan melelahkan. Namun demikian, semoga apa yang tertulis disini, dapat tersampaikan sebagai sebuah motivasi. Seorang anak supir ambulance rumah sakit dan guru sekolah dasar berani bermimpi dan tetap berusaha mengejarnya. Membuktikan bahwa tidak ada batasan, sky is the limit!. Ini bukan tentang seberapa bagus dirimu, tapi seberapa bagus yang kamu inginkan. Ini bukan ajang unjuk diri, tetapi ini ajang refleksi, sudah sejauh mana kita berani bermimpi ? Sudah sejauh mana kita berusaha ? Utamanya, sudah sejauh mana kita bersyukur kepadaNya ? Bersyukur atas hidup bukan hanya sujud dihadapanNya, tetapi juga berlari, berusaha memaksimalkan potensi diri yang diberikan, hingga nanti saat semua harus dikembalikan, kita bisa tersenyum dihadapanNya dan berkata, terimakasih Tuhan.
Selamat malam Mas.
Nama saya benny.
Sebelumnya saya mengucapkan selamat atas keberhasilannya di beasiswa AAS.
Kebetulan saya ingin bertanya mengenai beasiswa AAS. Bolehkah saya minta kontak emailnya?
Terima kasih.
LikeLike