Diajar Bapak

Tulisan ini akan berbentuk serial dari beberapa diskusi yang terjadi antara saya dan atasan tempat saya bekerja di Australia. Biasanya, diskusi ini terjadi di pagi hari, diawal dia membuka tokonya. Sebagai gambaran kualitas narasumber, atasan saya ini berumur lebih dari 60 tahun. Jadi, dari sisi jumlah pengalaman hidup sudah pasti jauh diatas saya. Dia sendiri sebenarnya membuka toko hanya untuk mengisi waktu luang, selain bermain dengan cucunya. Dari sisi finansial, atasan saya ini sebenarnya sudah selesai dengan hidupnya. Dia adalah tipikal investor kawakan, bahkan menjadi pemilik saham terbesar di New Zealand Airport. Selain Mitsubishi SUV yang dipakai sehari – hari, dia memiliki tiga Mercedes Benz S-Class keluaran terbaru. Bajunya hanya satu jenis, T-shirt hitam dan jeans, tetapi beberapa kali dia spontan saja sarapan ke Sydney, kemudian dinner kembali di Melbourne. Well, memang dia sudah selesai dengan hidupnya. So, besar kemungkinan bahwa hasil diskusi ini adalah murni distilasi pikiran, pengalaman, dan kebijaksanaannya, tanpa motif tertentu, tulus hanya ingin berbagi.

Awal mula diskusi ini adalah dari ketidakpuasan saya terhadap apa yang saya terima saat ini. Bermula dari rasa kecewa karena Ayah saya pergi tanpa meninggalkan apapun untuk kami. Beliau pergi saja sudah cukup mengecewakan, ditambah lagi dengan tanpa meninggalkan apapun, literally nothing, bahkan rumah untuk Ibu di masa tuanya pun tidak. Saya bercerita tentang semua hal dengan atasan saya ini, termasuk A sampai Z yang dialami Ayah saya, mulai dari jatuh bangunnya usaha yang dirintis, hutang piutang, sampai akhirnya dia pergi. Saya juga bilang bahwa kadang – kadang saya kecewa. Hal yang saya alami jauh berbeda dari kawan – kawan yang hanya tinggal berfokus pada membangun dirinya sendiri. Mungkin ini terdengar materialistis, tetapi secara pragmatis ini menjadikan segala sesuatu sedikit lebih berat. Lalu, diskusi inipun dimulai dengan tanggapannya terhadap permasalahan hutang piutang yang dulu pernaha dilalui Bapak dan dirasakan kami sekeluarga.

Well, it seems that you have reached the final class of life (Sepertinya kamu sudah sampai di kelas terakhir dari yang namanya Hidup). Diapun melanjutkan kata – katanya, Listen, parents does not have to teach what you have to do, instead they should teach what not to do. In this case, what your Dad have done is exactly this thing. (Dengar, orang tua tidak harus mengajarkan apa yang harus kamu lakukan, sebaliknya mereka harus mengajarkan apa yang tidak boleh dilakukan. Dalam hal ini, Ayahmu melakukan hal yang tepat). He teaches you that having a debt is bad, very bad that you shouldn’t do it. (Ayahmu mengajarkan bahwa berhutang itu hal yang tidak baik, sangat tidak baik sehingga kamu tidak boleh melakukannya). In fact, he teach you using his own personal experience, where in the world you can find a teacher voluntarily teaching that poison is lethal by trying himself? No one will do it but your Dad mate! (Bahkan, dia mengajarimu dengan pengalamannya sendiri, dimana di dunia ini ada guru yang mau mengajar dengan tulus bahwa racun itu mematikan dengan mencoba meminum racunnya sendiri? Tidak ada yang akan melakukan itu kecuali ayahmu, sobat!) That’s the best thing in life. He is not teaching what you should do because he believes that you can learn, be the best, be whatever you want to do. However, he guards you from thing that could jeopardising your life. That is the  precious thing he left for you. (Itu hal terbaik dalam hidup. Dia tidak mengajarkan apa yang seharusnya kamu lakukan karena dia yakin kamu bisa belajar, menjadi yang terbaik, menjadi apapun yang kamu inginkan. Tetapi, dia menjagamu dari hal yang bisa membahayakan hidupmu. Itu hal berharga yang ditinggalkan Ayahmu untukmu).

Lebih jauh lagi saya dan atasan saya ini berdiskusi bahwa seringkali banyak orang yang dengan sangat mudah mengumpulkan uang, bahkan bisa dikatakan jenius dalam mengumpulkan pundi – pundi rupiah, namun sangat buruk dalam mengelolanya. Salah satu keburukan dalam pengelolaannya adalah dengan berhutang. Bukan berarti tidak boleh, hutang sebenarnya punya sifat baik yaitu sebagai leverage (pengungkit) perkembangan finansial. Hal ini sangat lumrah dalam manajemen korporasi, bahkan dalam tata pemerintahan. Contohnya, Indonesia baru – baru ini mengeluarkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) yang intinya adalah mencari hutang dari masyarakat untuk melanjutkan pembangungan infrastruktur dalam negeri. Yang menarik adalah hutang haruslah produktif, dengan biaya rendah dan imbal hasil yang lebih tinggi. Yang kedua, hutang haruslah masuk dalam rentang income coverage, atau bahasa sederhananya masih dalam jangkauan kemampuan kita. Jangan berkeinginan melebihi apa yang kita patut miliki. Ini adalah seni memantaskan diri. Lebih baik lagi kalau memantaskan diri dan tidak berhutang!

Sangat jelas poin dari diskusi pertama ini. Saya sangat berterimakasih kepada Bapak tentang pelajaran “tidak boleh berhutang” yang diberikannya. Semoga saya dan Isna bisa menanamkan ini sebagai prinsip hidup kami, menjadikan manajemen finansial sebagai hal yang bisa kami diskusikan secara terbuka dan menyenangkan 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑