Sebenarnya sangat terlambat untuk menuliskan poin – poin penting dalam Business Summit yang khusus membahas Indonesia di mata para pebisnis Australia ini, bahkan sebenarnya saya tidak ingin menuliskannya ditengah tumpukan tugas yang tentunya lebih layak menjadi prioritas. Namun, sepertinya tulisan ini bisa sedikit menyegarkan dunia maya yang terus – menerus bercerita tentang perpolitikan Indonesia, semoga saja!
Poin pertama, percayalah bahwa Indonesia punya masa depan yang luar biasa. Sekilas, itulah yang tertangkap dari pemaparan para panelis hari itu. Banyak data dan fakta yang disebutkan, tiga diantaranya adalah populasi penduduk Indonesia, perkembangan kelas menengah, dan bonus demografi angkatan kerja yang di miliki. Kombinasi tiga hal ini menjadikan Indonesia pasar yang elok bagi korporasi dunia. Lihat saja, mereka berlomba – lomba menjali kerja sama dengan perusahaan Indonesia untuk menggarap potensi ini. Contohnya adalah Telstra, perusahaan telekom terbesar Australia, menjalin kerjasama dengan Telkom untuk menggarap pasar internet berbayar. Lain halnya dengan Blackmores, produsen farmasi yang terkenal dengan minyak ikannya, bekerja sama dengan Kalbe Farma untuk mengerjakan pasar pelayanan kesehatan di Indonesia. Dua hal tersebut sekilas terlihat tidak baik, menempatkan Indonesia sebagai pasar saja. Tetapi apabila dilihat lebih jauh, sebenarnya itu menjadi sinyal baik bagi negeri ini. Mereka menaruh harapan besar bagi perkembangan Indonesia, dan tentunya sudah memproyeksikan dengan sangat baik kemana langkah negeri ini, sebelum memutuskan untuk berinvestasi di dalamnya.
Tenanglah, kue ini tetap akan dinikmati Indonesia. Poin ini tertangkap ketika membahas tentang tantangan dalam berbisnis di Indonesia. Yang pertama tentunya tentang panjangnya (masih saja) birokrasi. Tetapi tidak perlu dikuatirkan, proses birokrasi ini sebenarnya buah dari proses otonomi daerah, sementara itu otonomi daerah adalah buah demokrasi, lagipula ini hanya perlu perbaikan sistem tata kelola saja. Para panelis berpendapat bahwa kuncinya ada pada digitalisasi, se-kompleks apapun sistemnya, ketika dia sudah dilengkapi dengan sistem digital, maka akan menjadi jauh lebih mudah, murah, dan transparan. Sebaliknya, yang mereka kuatirkan adalah kultur Indonesia yang selalu mengedepankan hubungan antar sesama. Sangat berbeda jauh dengan kultur Australia yang sangat individualis dan transaksional. Ditambah lagi dengan kendala bahasa, meskipun sebenarnya sudah jauh lebih baik dalam berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional, tetapi penguasaannya tidak merata di seluruh Indonesia. Hal ini mempersulit gerak mereka untuk menempatkan para ekspatriat di negara ini, kalaupun ada pastinya terpusat di Jakarta saja. Dengan demikian, para pebisnis ini harus menggunakan para eksekutif lokal, yang tentunya tidak kalah kualitas dan memahami kultur relasional Indonesia, dalam melaksanakan bisnisnya di negara ini. Bahkan di skala kerja menengah ke bawah, investasi mereka akan me-utilisasi para pekerja lokal. So, jangan kuatir, kue ini tetap akan dinikmati Indonesia.
Terakhir, hubungan bisnis yang terjalin akan memberikan efek domino bagi pembangunan Indonesia. Poin ini muncul dalam pembahasan tantangan supply chain dan logistik di negara kepulauan ini. Mereka sangat paham bahwa infrastruktur Indonesia jauh tertinggal dari negaranya. Mulai dari akses jalan raya, pelabuhan, pergudangan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mereka sangat aktif dalam membangun fasilitas – fasilitas tersebut, dengan pendanaan sendiri, dan tentunya untuk kepentingan bisnisnya. Namun, jika dilihat lebih jauh, pembangunan ini akan membantu pemerintah Indonesia dalam mempercepat pengembangan infrastruktur, dimana pemerintah membangun infrastruktur utama, sementara para pemodal ini membangun infrastruktur turunannya. Great!
Jadi, benar saja kata mereka, Indonesia is the greatest invisible opportunity on earth (Indonesia adalah peluang terbesar yang tersembunyi di Dunia)!
So, stop berantem yuk? 🙂 Mari bersiap menikmati kue ekonomi ini!
Leave a Reply