SEKILAS PERJALANAN INVESTASI
Beberapa bulan terakhir, saya tertarik kembali untuk membangun wawasan tentang investasi. Topik ini sebenarnya bukan topik awam karena sejak kuliah strata – 1 pun saya sudah berkenalan dengannya. Pada saat itu, saya mulai dengan penerapan pola pikir bahwa “besarnya investasi / tabungan bukan dimulai dari pendapatan dikurangi pengeluaran. Sebaliknya, pengeluaran adalah pendapatan dikurangi nilai investasi / tabungan”. Jelas bedanya kan? Me-nomor dua-kan investasi / tabungan tidak akan membawa kita kemana – mana, maka pilihannya adalah memprioritaskannya. Pendapatan saya dimasa itu adalah uang beasiswa dan gaji menjadi asisten dosen. Dari pendapatan ini, 30% akan secara otomatis terpotong langsung dari rekening untuk menjadi tabungan. Dimasa itu, produk ini disebut Tabungan Rencana Mandiri (TRM) dari salah satu bank BUMN. Hasilnya, tentu saja tabungan yang saya gunakan untuk membiayai proses wisuda (ya, wisuda juga ternyata harus bayar), mendatangkan orang tua, dan tentunya sang mantan pacar ke Surabaya. Meskipun saat itu saya tidak pernah menghitung imbal hasil investasi atau biaya administrasi perbankan, tetapi yang saya tahu pasti bahwa saya telah belajar memprioritaskan investasi / tabungan daripada pengeluaran. Pola pikir ini penting dan pasti memberikan imbal hasil yang lebih besar dimasa – masa selanjutnya.
Selepas kuliah, ternyata pemikiran tentang investasi menjadi semacam penjaga finansial pribadi bagi saya, seorang pemuda di umur 20-an. Pekerjaan pertama saya disektor pertambangan batubara dikala itu tersohor dengan upah diatas rata-rata dan pengeluaran minimal. Ini karena selama bekerja kami tinggal di mess area tambang dengan segala kebutuhan yang tercukupi dengan sangat baik. Kalaupun ada pengeluaran, itu hanya sesekali saat kami plesir ke kota ataupun saat kami sedang dalam masa cuti dua bulan sekali. Dari ilustrasi ini, bisa ditebak bahwa ada rejeki berlebih yang harus dikelola dengan baik. Disinilah pemikiran investasi berkembang, kali ini bukan saja melalui sistem tabungan berkala, tetapi juga melalui pembelian aset dan kanal lainnya. Saya pernah men-deposito dana pribadi disalah satu bank daerah yang menjanjikan imbal hasil tinggi. Selain itu, saya juga pernah menginvestasikan sejumlah dana di usaha yang dijalankan oleh rekan lain. Kali ini saya mulai mengkalkulasi semua biaya, faktor resiko, dan hasil investasinya. Ternyata deposito dan investasi usaha tersebut kurang menarik. Bunga deposito akan dikenai pajak 20%, dengan demikian nilai bunga yang dijanjikan akan menurun, dan ternyata tidak sebanding dengan tingkat inflasi. Sementara itu, investasi usaha juga tidak terlalu menjanjikan karena imbal hasilnya tidak sebanding dengan risiko gagal usaha. Lalu, apa alternatif investasi lainnya?
Reksadana! Ya, periode berikutnya saya jalani dengan berinvestasi pada reksadana. Instrumen investasi ini sebenarnya sudah ada di era 90-an, namun tidak populer karena rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap investasi. Saya tidak akan menjelaskan tentang apa itu reksadana, karena informasinya sudah sangat gampang dijangkau, salah satunya melalui link ini. Semenjak 2013, saya rutin membeli reksadana setiap bulan dengan nominal yang tetap. Selain itu, saya juga selalu menambahnya apabila ada pemasukan tambahan seperti bonus kinerja dan tunjangan hari raya. Hasilnya, pembiayaan pengesahan hubungan dengan sang mantan pacar bersumber dari pencairan reksadana yang saya miliki di 2016 🙂 . Selama periode 3 tahun investasi tersebut, kinerja reksadana yang saya miliki berhasil memberikan imbal hasil diatas 30%. Angka yang menarik bagi saya, seorang anak muda yang tidak memahami dunia investasi dengan baik. Saya bahkan tidak tahu apakah ini adalah jenis investasi terbaik.
INVESTASI TERBAIK
Apa investasi terbaik? Pertanyaan ini muncul seketika disaat saya mulai mendalami dunia pasar modal, tepatnya investasi saham yang digadang – gadang sebagai investasi dengan probabilitas imbal hasil tinggi. Apakah imbal hasil tinggi menjadikan saham sebagai pilihan investasi terbaik? Sepertinya tidak, apalagi dengan tingkat risiko yang tinggi. Selain itu, proses investasi di pasar modal juga membutuhkan biaya yang besar. Memang, saat ini jauh lebih terjangkau karena kebijakan pembelian satu lot saham minimal 500 lembar telah diubah menjadi 100 lembar saja. Namun perlu diingat, ada biaya pialang saham dari proses pembelian ini. Demikian juga saat penjualan, imbal hasil saham tetap akan dikenai pajak negara. Jadi, apakah saham investasi terbaik? Sepertinya tidak.
Jawaban tentang investasi terbaik belakangan saya temukan dalam file presentasi yang saya bawakan dalam kajian rutin Tim Pembina Kerohanian Hindu ITS (TPKH – ITS) di tahun 2011. Ketika itu, saya diminta memberi sharing tentang pengalaman selama mengikuti summer school di Amerika Serikat. Saya pikir memberikan kabar tentang pengalaman di negeri paman sam tersebut tidak akan berarti apa – apa ditengah booming internet yang menghapus sesuatu bernama jarak. Para mahasiswa tersebut akan dengan sangat mudah mengetahui budaya, sistem pendidikan, dan hal – hal lain tentang Amerika hanya dengan mengetikkannya di kolom google. Jadi, buat apa mereka mendengarkan presentasi saya lagi? Dari pemikiran itu, rasanya akan lebih baik apabila saya mengaitkannya dengan hal lain, yaitu dunia investasi! Ya, benar, saya mengaitkan dunia investasi dengan kehidupan seorang mahasiswa. Walaupun di tahun tersebut saya belum paham betul tentang investasi khususnya saham, saya tetap percaya diri karena tahu pasti bahwa para mahasiswa lainpun belum tentu paham dengan hal tersebut. Prinsipnya, kita tidak perlu menjadi superior untuk percaya diri, cukup menjadi sedikit diatas rata – rata :).
Presentasi itu berjudul “You’re the stock!”, atau “Kalian adalah sahamnya!”. Saya menganalogikan seorang mahasiswa seperti lembaran “saham” yang mempunyai harga berbeda – beda. Disisi lain, para “investor” yang menanamkan modal dalam saham – saham ini dianalogikan sebagai orang tua para mahasiswa tersebut. Para investor ini umumnya mereka yang memiliki modal besar dan daya tahan tinggi untuk menunggu hasil investasinya. Mereka, menanamkan uang dalam jumlah yang tidak terhingga ke dalam saham tersebut, bukan hanya sekali dua kali, namun seringkali. Bukan hanya uang, mereka juga menanam waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menganalisanya, kemudian menginvestasikan kembali apapun yang diperlukan ke dalam saham tersebut.
Layaknya pasar modal, mereka berinvestasi dengan harapan ada imbal hasil yang memuaskan. Para investor ini mengharapkan peningkatan harga “saham” tersebut. Disisi lain, peningkatan harga ini bergantung pada karakter dari “saham” itu sendiri. Apabila ia bernilai tinggi, maka imbal hasil investasinya akan semakin baik, investor akan semakin senang. Pertanyaannya, bagaimana cara saham – saham ini meningkatkan nilainya dimasa yang akan datang?
Disinilah proses investasi terbaik itu terjadi. Investasi ke dalam diri sendiri! Setiap orang, dalam hal ini mahasiswa harus memposisikan dirinya sama seperti “saham” yang harus terus meningkatkan nilainya, agar memberikan imbal hasil yang tinggi bagi para investornya. Mereka harus menginvestasikan segala daya upaya untuk meningkatkan kemampuan pribadi, baik itu teknikal, personal, dan spiritual. Secara teknikal, selalu berusaha untuk mempelajari hal – hal baru yang tentunya tidak terbatas pada keahlian tertentu. Secara personal, selalu aktif membangun hubungan dengan orang banyak, tanpa ada batasan, baik dalam keseharian maupun organisasi. Secara spiritual, mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk meminta, tetapi untuk melepas segala keterikatan agar dapat lebih ringan melangkah, bahkan berlari. Para orang tua selaku investor akan sangat senang dengan pencapaian para mahasiswa ini. Investasi mereka berbuah manis.
Inilah investasi terbaik! Proses investasi ini juga tidak memerlukan biaya yang besar karena bisa dimulai dari hal – hal kecil. Misalnya, membaca, bercengkrama dengan rekan – rekan, dan sembahyang Tri Sandya dengan rutin. Proses investasi ini juga tidak memerlukan pialang saham sebagai perantara transaksi, sebaliknya ini dilakukan secara langsung oleh perorangan. Bagian akhirnya, imbal hasil proses investasi ini bisa berlipat – lipat, jauh diatas investasi saham yang sebenarnya. Misal, seorang mahasiswa kedokteran suatu saat nanti mungkin akan menjadi ahli bedah syaraf yang humoris dan dikagumi orang banyak. Bahkan, hasilnya pun tidak dikenai pajak negara 🙂 .
Investasi pada diri sendiri memang investasi yang terbaik! Pertambahan nilai – nilai diri ini tentunya akan menarik bagi investor lainnya untuk menanamkan modal. Sebagai ilustrasi, para pemberi beasiswa akan berperilaku layaknya investor dalam menyalurkan dana beasiswa. Mereka akan melihat sekumpulan mahasiswa ini seperti sekumpulan saham yang masing – masing memiliki potensi imbal hasil yang berbeda. Tentunya preferensi akan diberikan kepada saham cemerlang, dalam hal ini seseorang dengan kemampuan akademik yang baik akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Darimana kemampuan akademik ini berasal? Pastinya dari investasi sang mahasiswa, ke dalam dirinya sendiri, jauh sebelum proses seleksi beasiswa, dalam bentuk belajar dengan tekun!
Benar, investasi terbaik adalah investasi ke dalam diri sendiri! Manusia, siapapun dia harus melakukan investasi model ini karena tiga hal. Pertama, adanya kewajiban untuk memberikan imbal hasil yang memuaskan bagi para investor, dalam hal ini orang tua dan generasi sebelumnya. Kedua, investasi jenis ini tanpa biaya, dimana imbal hasilnya akan dinikmati secara penuh, tanpa pengurangan, dan tidak akan dikenai pajak negara. Terakhir, investasi jenis ini mampu mendatangkan investor – investor lainnya 🙂 .
Heatwave – 9 Februari 2017
Leave a Reply