Satu minggu terakhir ini kami disibukkan dengan persiapan keberangkatan tetangga untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Australia. Memang kami baru bertetangga kurang dari 6 bulan, namun ikatannya terasa kuat. Selain karena lokasi unit kami yang berhadap – hadapan, mas Dias juga rekan kerja saya di salah satu toko coat di kota Melbourne ini. Seringkali pertukaran pikiran terjadi di tram saat kami berangkat kerja, pertukaran antara seorang Bapak beranak dua dan dengan seorang yang baru memulai membangun keluarganya. Menarik. Ditambah lagi Aby, anak mas Dias yang berbicara dua bahasa di umurnya yang masih dibawah 5 tahun, terkadang tercampur, bahkan kesusahan mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia sehingga mengundang gelak tawa kami. Singkat kata, mereka adalah keluarga yang mengesankan.
Hari ini, tepatnya pagi tadi mas Dias sekeluarga berangkat ke Indonesia. Tentunya ini sangat membahagiakan karena akan kembali ke tanah kelahirannya, berkumpul dengan keluarga besar, dan kembali familiar dengan wajah – wajah orang sekitar. Bisa merasakan kembali nikmatnya matahari tropikal yang hangat namun tidak menyengat, atau mencium aroma khas tanah di musim hujan tanpa harus menggigil kedinginan di suhu mendekati nol derajat. Ah, nikmatnya kembali ke Indonesia! Sepintas, itulah yang tertangkap di raut wajah mereka sekeluarga. Namun, lebih dalam lagi ternyata ada rasa sedih yang tidak bisa disembunyikan, rasa cemas dengan bab baru yang akan dihadapi.
Saya sangat paham perasaan semacam itu. Menjadi seorang anak rantau semenjak medi0 2007 menjadikan saya terbiasa, mengerti, dan terkadang merindukan perasaan semacam itu. Di 2012, saya mengalami hal yang sama seperti yang mas Dias alami, kembali ke Bali setelah menjalani perkuliahan di Surabaya sejak medio 2007. Ada perasaan senang karena satu misi itu telah tuntas, senang bisa berkumpul kembali dengan keluarga, atau sekedar karena bisa menikmati nikmatnya sate kuta, babi guling, dan kuliner lainnya. Namun, ada sedih yang membuncah, meninggalkan kamar 3 x 4 yang menjadi saksi usaha dan doa selama masa di Surabaya.Saya meneteskan air mata, di ujung telepon Isna memberi semangat.”Yuk, pulang”. Seketika itu juga saya tersenyum kembali.
Di tahun – tahun berikutnya saya menjadi sangat terbiasa dengan hal tersebut. Mulai dari pekerjaan yang mengharuskan menetap di Jakarta, penugasan di Batam, Kalimantan, kembali ke Jakarta, hingga berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi. Komposisi perasaannya masih sama, senang, sedih, dan cemas. Namun, satu hal yang selalu saya nikmati adalah masa – masa menghadapi perasaan tersebut. Masa dimana semua dimulai dari awal lagi. Ini mirip seperti membuka bagian buku selanjutnya, dimana si penulis wajib menata latar belakang suasana dan merencanakan alur ceritanya.
Mas Dias juga pasti melakukan hal yang sama, disaat melayang di tengah pesawat yang membawanya dari Tullamarine ke Soekarno – Hatta, pikirannya juga melayang mempersiapkan segala hal yang akan dilaluinya sesampainya di Indonesia. Satu hal yang selalu benar dan kami pahami adalah hidup tidak pernah diam. Perpindahan hari ini hanyalah bagian dari rencana yang mahakuasa untuk me-reset kembali posisi umatnya. Beliau hanya ingin mengingatkan untuk berterimakasih akan hidup, dengan kembali bermimpi, merumuskan usaha dan doa, dalam menulis bagian berikutnya dari buku kehidupan.
Sampai jumpa mas Dias dan keluarga, semoga selalu dalam lindunganNya, see you soon in another chapter of life!
Awal musim panas – Melbourne 2016
apwicaksana
Leave a Reply