Gitar Kedua

Hai sahabat, kali ini kita akan berbicara tentang sisi lain kehidupan, sisi yang membuat kehidupan lebih bisa dinikmati. Saat hidup sudah mulai berjalan dengan rutinitas senin hingga jumat, maka tidak ada jalan lain untuk membuatnya berwarna selain berkreatifitas, a work-life balance through music.

Bermain musik menjadi hal yang baru di keluarga kami mengingat Bapak dan Ibu tidak ada yang bisa memainkannya. Mungkin juga sebenarnya bukan tidak bisa, hanya saya yang tidak tahu kemampuan mereka. Yang jelas untuk alat musik modern memang tidak pernah ada dirumah, hingga suatu hari saat saya di bangku SMP muncul gitar sebagai hadiah dari Bapak. Iya memang hadiah, yang diberikan tidak dengan cuma – cuma, tidak dengan mudah selalu ada, tetapi selalu diusahakan saat anak – anaknya mencapai atau menghasilkan sesuatu. Entah sejak kapan nilai tersebut ada, sayapun tidak pernah ingat menerima ajaran itu. Saya hanya ingat teladan bahwa kalau ingin sesuatu, berusahalah. Pernah saat masih SD, saya mendapatkan joran pancing setelah berusaha bangun pagi dan langsung mengelap motor Bapak selama 1 bulan lebih. Satu lagi ajaran dari Bapak, bahwa selain berusaha kamu perlu persistensi untuk mendapatkan sesuatu.

An old guitar

Kembali ke gitar hadiah dari Bapak, saya rasa itu ada di medio tahun 2002. Saat itu membeli gitar bukanlah hal yang mudah. Kondisi keuangan keluarga yang masih harus meletakkan gitar diatas kebutuhan primer, faktanya tersierpun tidak karena ia berada diatasnya. Lagipula alasan seorang anak 14 tahun untuk membeli gitar agar bisa seperti Erros Chandra (gitaris Sheila On 7) terdengar kurang rasional. Masih ada beberapa buku pelajaran siswa kelas 2 SMP belum terbeli :). Lagipula saat rapor kelas 1 SMP dibagikan, saya samasekali mengecewakan. Tidak menjadi rangking kelas seperti saat SD, bahkan 10 besarpun tidak masuk. Saat itu Bapak marah, bahkan pernah hendak membakar rapor saya. Lalu apakah menjadi menyenangkan dimatanya ketika anak sulungnya datang dengan permintaan sebuah gitar ?

Ibu pernah bilang bahwa apabila saya punya keinginan, maka saya pasti mengejarnya. Inipun berlaku untuk gitar tersebut. Setelah mengajukan “proposal” tersebut, maka “term and condition” juga diberikan. Bapak menantang agar saya bisa masuk 3 besar berturut – turut 2 semester, baru akan mendapat gitar. Sempat saya tolak, kalau dengan term itu berarti saya baru bisa mendapatkannya tahun depan, terlalu lama! Membuang waktu, bukankah kalau gitar itu ada saat itu juga, maka setahun kemudian saya akan menjadi semakin dekat dengan Erros Chandra KW 2 ? Bapak hanya diam, itu artinya “take it” or “leave it”. Maka saya putuskan untuk menerima tantangan itu. Belakangan saya baru sadar ajarannya, bahwa selain persistensi, perlu kesabaran saat menginginkan sesuatu, kita akan tahu apakah kita benar – benar menginginkannya atau hanya emosi sesaat.

Setahun berjalan, benar saja bahwa akhirnya saya bisa selalu rangking 1 di kelas. Ajaibnya, saya tidak merasa melakukan hal yang besar untuk mencapai peringkat tersebut. Belajarpun masih dengan intensitas biasa saja, malah lebih banyak bermain layangan. Mungkin alam bawah sadar yang menggerakkan semua usaha, hingga itu tidak terasa sebagai sesuatu yang berat 🙂 . Saat menagih janji tiba, Bapak dengan santai bertanya “masih mau beli gitar ?”. Saya rasa itu bentuk konfirmasi apakah saya masih tetap menginginkan benda yang belum bisa saya mainkan itu. Saat itu, siapapun yang menanyakan hal tersebut tentu saya jawab masih mau! Sekarang, ketika saya ingat lagi, harusnya saya ganti permintaannya jadi yang lebih besar. Haha…

Toko gitar masih langka di Bali saat itu. Namun karena Bapak berprofesi sebagai sales dan sering keliling wilayah Denpasar, maka dia tahu dimana tempat membeli gitar. Namanya Nakula Musik, letaknya di Jalan Nakula, dekat RS. Wangaya. Saat itu kami berangkat menaiki mobil box perusahaan tempat bapak dulu bekerja. Maklum, belum ada kendaraan roda 4 milik pribadi waktu itu. Membeli gitar saat itu sama seperti membeli kucing dalam karung, kami berdua bukan pemain musik, bahkan tidak tahu brand alat musik tersebut. Hanya bermodal penjelasan dari si penjual dan kemampuan menerka wajah tentang keaslian penjelasan yang diberikan. Sampai sekarangpun saya tidak tahu tipe gitar yang dibeli saat itu, tetapi paling tidak benda itu telah mengajarkan saya dan adik untuk berkreatifitas. Hampir setiap hari kami dimainkan, hingga saat inipun masih tersimpan dirumah namun dengan kondisi yang kurang baik. Oya, Bapak saat itu bilang mau belajar main gitar, tapi sampai sekarang sudah pergipun masih belum bisa, poor you Dad!haha…

A brand new guitar

Hari ini, Sabtu 17 Januari 2015, ceritanya agak berbeda. Masih tentang gitar, tetapi dengan metode kelahiran yang berbeda. Hari ini sah sudah saya beli gitar baru, bukan di Bali, tapi di Jakarta! Semuanya berawal dari rasa bosan dengan rutinitas, ingatan tentang masa – masa main band, dan keinginan untuk mengasah otak dengan terus belajar. Saya rasa bermain gitar akan menjadi hal yang menyenangkan. Maka dengan demikian, membeli gitar seharusnya menjadi keputusan yang sangat mudah, apalagi saat ini saya sudah tidak perlu meminta orang tua lagi. Tetapi entah kenapa itu menjadi hal yang rumit bagi saya. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk meminta ijin orang tua saat membeli benda yang bukan keperluan reguler. Maka proses minta ijin Ibu menjadi hal yang pertama dilakukan. Komunikasi via telepon saya lakukan, isi hatipun sudah diutarakan. Diluar dugaan, Ibu dengan mudah mengatakan “ya sudah beli aja, Ibu juga suka main keyboard dirumah tiap sabtu minggu”. Ternyata Ibu punya mainan baru, ijin dari ibu dengan mudah didapat. Selanjutnya tinggal lapor dengan sang pujaan hati. Sama seperti sebelumnya, komunikasi via telepon, isi hati diutarakan. Diluar dugaan, yang ini agak panjang diskusinya. Isna memang sepertinya tidak tahu kalau saya bisa main gitar, maka dia ingin meyakinkan dulu apakah benar benda itu akan berguna untuk saya 🙂 . Apalagi Isna sangat paham kalau lelakinya ini sangat tidak bertanggungjawab, cenderung anarkis terhadap benda yang dipunyai. Maka tidak salah bahwa Isna waspada, khawatir kalau gitar yang saya beli hanya akan menjadi penghuni pojok kamar, teronggok, terserak, dan berdebu.

Singkat cerita, semuanya sudah oke, maka tinggal eksekusinya. Dimulai dari pencarian dana untuk membeli gitar tersebut. Kebetulan saya punya “celengan” yang selalu saya isi setiap hari. Kebetulan ini juga hadiah dari Isna, saya rasa fungsinya pasti untuk mengingatkan saya untuk tidak boros 🙂 . Hitung punya hitung, dananya cukuplah untuk membeli gitar akustik pemula, lagipula memang saya hanya menggunakannya untuk mengisi waktu luang, kalaupun memungkinkan untuk memainkan lagi yang Isna suka. Setelah dana ada, maka lanjut ke tipe gitar yang diinginkan, berbatas budget tentunya. Saya ingin gitar yang “handy”, mudah dibawa kemana saja dan dimainkan kapan saja. Internetpun dijelajahi, akhirnya malah bingung sendiri. Memang ada yang menarik, yaitu Guitalele, gabungan dari guitar dan ukulele. Harganyapun sangat pas, ukurannya juga unik, sedikit lebih besar dari ukulele, jauh lebih kecil dari gitar. Ingin tahu lebih jelasnya bisa search Yamaha – GL 01.

Hari sebelumnya, Jumat saat pulang kantor saya sempatkan untuk berkeliling toko alat musik di area Cibubur. Hasilnya nihil 😦 . Total ada 4 toko yang saya kunjungi dan semuanya mengatakan gitar tipe tersebut sudah tidak ada. Bahkan ada yang bilang itu hanya dijual di luar negeri, padahal saat browsing saya menemukan benda itu ada di Surabaya. Entah mana yang benar. Akhirnya, kepulangan saya diiringi hujan, dengan tangan hampa. Saya pinjam gitar teman satu kos, bernyanyi, meratapi kegagalan berburu guitalele.

Kembali ke hari ini, kelahiran sang gitar dimulai dengan browsing toko alat musik lainnya. Akhirnya menemukan authorized dealer Yamaha yaitu Nuansa Musik yang memang beralamat tidak jauh dari tempat tinggal, tepatnya di Nuansa Musik Lapangan Tembak Cibubur. Via telepon dikonfirmasi bahwa mereka masih ada 1 unit guitalele, senangnya hati ini. Ingin segera berangkat, namun arena cuaca pagi tadi masih hujan, sayapun masih berkutat dengan cucian kotor dan proses pembersihan kamar, maka saya putuskan untuk berangkat kesana agak siang.

Tidaklah sulit untuk menjangkau toko tersebut, dengan warna ungu yang mencolok dan icon garpu tala. Saat masuk saya dihadapkan dengan pilihan berbagai macam gitar. Langsung saja saya menuju front desk untuk menanyakan benda yang saya cari. Saya cukup mengingatkan bahwa saya tadi yang telepon, maka pramuniaga tersebut langsung mengeluarkan guitalele yang saya inginkan. Katanya sengaja disimpankan, takut kalau ada yang beli mengingat stocknya Cuma tinggal 1. Bentuknya memang sangat unik. Saya coba memainkannya. Genjreng, genjreng, genjreng! Sedikit aneh di telinga saya, meskipun sudah dituning dengan digital tuner, tetap saja aneh bagi telinga saja. Usut punya usut, memang guitalele ini berbeda. Nada yang keluar lebih tinggi dan akan sama dengan gitar biasa yang dimainkan dengan capo di fret 5. Selain itu, setelah saya pegang sendiri, ternyata ukuran yang kecil menyulitkan jari –jari bongsor ini untuk menari diatas necknya. Sedikit tidak sesuai harapan saya. Segera saya beralih pandang ke deretan gitar lainnya, hingga akhirnya saya jatuh hati dengan seri gitar klasik.

Entah kenapa bentuk gitar klasik sangat menarik. Dengan lekukan yang standar namun sangat jelas, seolah berkata “inilah gitar sebenarnya”. Segera saja saya ambil salah satu dari gitar tersebut, tuning dengan digital tuner, lalu bisa di-genjreng! Memang suaranya agak berbeda, hal ini lebih karena penggunaan nylon string, bukan steel string seperti kebanyakan gitar lainnya. Namun secara chord, tidak ada perbedaan nada. Lagipula nylon string menurut saya lebih enak dimainkan, lebih lembut sehingga tidak membuat jari cepat sakit. Paling tidak orang akan bertahan lebih lama memainkannya ketimbang gitar dengan steel string. Fret gitar klasik juga cenderung lebih lebar sehingga akan sangat membantu orang – orang dengan jari bongsor seperti saya. Dengan neck tanpa trussoud (besi dalam), maka gitar ini cenderung lebih ringan. Secara ukuran juga kebetulan gitar ini tidak terlalu besar, hanya dengan jumlah kolom fret 16-18 dan tabung minimalis. Harganya memang lebih mahal, tetapi saya rasa sepadan dengan apa yang didapat.

Cukup lama saya berada di toko tersebut. Hanya untuk memastikan bahwa memang saya tidak salah pilih. Bahkan saking lamanya, saya dan sang pramuniaga sempat jaming beberapa lagu untuk memastikan yang mana lebih baik antara guitalele atau gitar klasik yang saya pegang. Akhirnya, dengan pertimbangan matang saya ambil gitar klasik Yamaha CGS 102A.

YAMAHA CGS 102A – Newborn Baby

Dengan pemilihan tersebut, maka resmi sudah kelahiran gitar kedua ini. Meskipun dengan cerita yang berbeda, tetapi pada intinya hampir sama dengan gitar pertama saya. Gitar kedua ini dibeli dari uang “celengan” yang memang saya kumpulkan sejak lama. Pembeliannya juga tidak langsung sekali beli dapat. Ada unsur yang sama, yaitu usaha dan persistensi untuk mendapatkan sebuah gitar. Semoga gitar baru ini benar – benar bisa berguna sesuai tujuan awal, tidak hanya menjadi hal yang ditakutkan Isna bahwa sang gitar akan mendekam di pojok kamar. Semoga ada nilai positif yang diberikan untuk hari – hari ke depan. Hey Dad, would you play with my new one up there? 🙂

Jakarta, 17 Januari 2015

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: