Dua Dunia, Tiga Tempat, Satu Cinta (Bagian – 2)

Halo sahabat blogger…ternyata menjadi konsisten itu sedikit lebih susah dari yang dibayangkan. Setelah menggebu-gebu untuk menulis di catatan virtual ini, ternyata baru sekarang ada “niat” untuk melakukannya lagi. Tepat 2 minggu setelah tulisan pertama, sebuah bukti bahwa saya masih dalam tahap konsisten untuk tidak konsisten 🙂

Masih ingat cerita keluarga kami pada bagian pertama ? Hari ini tepat 38 hari Bapak pergi, semua sudah iklas dan semakin iklas untuk terus berjalan, melanjutkan apa yang beliau inginkan. Kalau Anies Baswedan punya program “melunasi janji kemerdekaan”, maka kami punya program “melunasi janji kehidupan”. Janji bahwa hidup hanya sekali, harus dilakukan dengan benar, maka sekali menjadi lebih dari cukup. Semoga saya dan adik melakukannya dengan benar.

Saya dan adik besar dengan pendidikan yang menyenangkan. Sistem reward and punishment sangat membantu untuk terus maju walaupun terkadang rewardnya tidak seberapa tetapi punishmentnya beberapa :). Selepas SMA, saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 diluar Bali, bukti bahwa merantau adalah warisan sifat Bapak. Namun, sebenarnya ada alasan lain, saya dan bapak sering bertengkar. Entah kenapa saya sering tidak akur dengan beliau, bahkan cenderung untuk merasa tidak cocok satu sama lainnya. Mungkin itu benci, dalam artian BENar CInta. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena ketidak sepahaman tersebut, jadilah saya berkuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, salah satu institusi teknologi terbaik di Indonesia, menekuni bidang ilmu keteknikan khususnya Teknik Perkapalan. Entah apa yang membuat saya memilih bidang ini, yang jelas saya tidak ingin menjadi dokter seperti permintaan Bapak. Saya mengambil konsentrasi Transportasi Laut dan Logistik dengan logika sederhana, bahwa negara ini adalah negara maritim, negara kepulauan, sehingga perpindahan barang bahkan manusia sangat bergantung pada transportasi laut. Tahun 2007; tahun dimana Surabaya menjadi kota kelahiran kedua, tempat menimba ilmu, bukan hanya ilmu akademis tetapi juga ilmu tentang menjadi laki-laki dewasa. Sadar kondisi keuangan keluarga yang cukup berat, akhirnya saya putuskan untuk menjadi pemburu beasiswa, bahkan sampai luluspun saya menjadi “penikmat” beasiswa, mulai dari beasiswa kampus yang hanya menanggung uang saku, dari pihak luar yang menanggung uang pendidikan, sampai beasiswa dari Kementerian Pendidikan Amerika Serikat yang menanggung biaya hidup dan sekolah disana selama beberapa waktu. Khusus untuk beasiswa, informasinya akan saya sampaikan kepada pemburu beasiswa di tulisan lain. Enjoy reading 🙂

Hal yang sama terjadi dengan adik tiga tahun kemudian. Saya sampai sekarang masih heran dengan cita-cita anak ini, entah karena apa selepas lulus SMA dia memiliki ketertarikan di dunia dirgantara khususnya pesawat udara sehingga sangat berniat untuk bersekolah di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di Curug Tangerang. Berhubung sekolah ini ada dibawah Kementrian Perhubungan, mulai dari tes masuk, jadwal kuliah, hingga metodenya jauh berbeda dengan kampus negeri biasa. Sebagai seorang kakak sekaligus akademika ITS, saya sarankan kepadanya agar mendaftar juga di ITS sambil menunggu pengumuman dari STPI. Singkat cerita, dia diterima di ITS bidang teknik material dan metalurgi dengan beasiswa penuh dari salah satu perusahaan nasional. Kebanggaan luar biasa bisa mengantarkannya meraih hal tersebut. Akan tetapi saat perkuliahan berjalan satu bulan, kami mendapat informasi penerimaannya di STPI,  dengan beasiswa parsial dan ikatan kerja setelah lulus dengan maskapai nasional Indonesia. Akhirnya, adik memilih mengikuti cita-citanya, meninggalkan zona nyaman dan mengambil risiko yang telah dikalkulasi. Dari sini saya belajar darinya, bahwa cita-cita harus terus dikejar, karena hidup akan terus berjalan ketika kita menemukan gairah didalamnya. Tahun 2010 ; tahun dimana Ibu dan Bapak sangat iklas melepas dua buah hatinya merantau di pulau seberang, dauh tukad, ungkapan orang Bali untuk wilayah di luar Bali. Di tahun tersebut mulailah kami, keluarga yang tercerai berai karena cita-cita, berjalan dengan tiga tempat satu cinta.

Perjalanannya sungguh asyik! Mungkin sebagian orang pernah mengalami untuk bertemu satu keluarga di bandara, kemudian berpisah lagi di bandara. Atau lebih ekstrimnya, Ibu dan Bapak naik pesawat udara, saya naik bus, dan adik naik kereta dengan tujuan yang sama, satu kota tempat berkumpul melepas rindu. Saat adik wisuda bahkan kami sangat menikmati momen makan pop mie sekeluarga di Bandara Soekarno Hatta, sebelum Ibu Bapak terbang ke Bali, adik berkendara ke Kota Tangerang, dan saya menumpang bus Damri ke kota Jakarta. Masa – masa itu sangat mengajarkan kebersamaan, keiklasan, dan keteguhan untuk berusaha dengan sungguh – sungguh. Mengutip kata Dahlan Iskan, dapat dikatakan kami sedang berusaha dengan sungguh – sungguh untuk “membalik nasib”.

Ya benar “membalik nasib”. Mohon maaf apabila ini terdengar berlebihan, tetapi saya ingin bercerita sejauh mana kami berhasil membalik nasib, mulai dari saya. Saat perkuliahan dimulai, saya sama sekali tidak memiliki ketertarikan di bidang fisika atau matematika. Walaupun memang saat SMA mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran yang nilainya paling tinggi di rapor, bukan tinggi sampai 95 atau 100, tetapi menjadi tinggi karena mata pelajaran lainnya hanya memiliki rentang nilai 70 – 75. Dengan demikian, matematika dan fisika pada rentang 75-78 ialah nilai paling tinggi 🙂 . Menjadi jelas bahwa saya tidak memiliki keahlian di bidang fisika atau matematika, ditambah lagi IQ yang hanya 100, lebih jelas lagi bahwa saya terancam gagal kuliah di jurusan yang menuntut kesempurnaan dalam dua mata pelajaran tersebut. Tragis!

Baru mulai sudah menemukan kata tragis, maka saya putuskan untuk belajar dengan cara yang tidak biasa, paling tidak menjadi tidak biasa untuk saya. Saat kuliah saya tidak pernah mencatat, bahkan membawa buku catatan juga tidak! Persis seperti yang digambarkan dalam sinetron bahwa anak kuliah hanya modal celana jeans “belel”, sepatu kets, polo shirt, dan tas selempang. Saat kuliah saya lebih memilih untuk terlibat diskusi dengan dosen, bertanya apapun itu, menjadi mahasiswa yang terlihat sangat goblok dengan selalu bertanya. Di akhir sesi, tidak lupa saya meminta catatan teman untuk di fotocopy. Konco plek, istilah Surabaya yang artinya berteman sangat dekat, bahkan catatannya pun boleh saya pinjam setiap hari :). Metode yang tepat, semester satu saya tutup dengan bergelimang nilai A, Bravo! BaNdenk, Bali Gendenk, itulah sebutan kami dari rekan-rekan kampus sebagai mahasiswa Bali dengan prestasi yang bisa dibanggakan, IPK tidak pernah dibawah 3,5. Masa – masa perkuliahan sangat saya nikmati, menurut saya masa tersebut adalah masa yang paling bebas, bebas bertanggungjawab. Menjadi aktivis kampus, berkesenian di pura, mengikuti training dan seminar, belajar agama, bekerja sampingan, berteman, hingga mencoba hal-hal “alur kiri” yang memang sebaiknya diketahui tetapi tidak diikuti. 4 Tahun berjalan, penutupan masa – masa di Surabaya pun tiba. Kembali menurut saya, penutupannya sangat indah, walaupun sebenarnya mungkin banyak orang yang mengalami prosesi wisuda dengan tiga kali naik podium: sebagai wisudawan teknik perkalapan, peraih gelar cumlaude, dan peraih gelar outstanding student dari Royal Institution of Naval Architect (RINA), sebuah perhimpunan insinyur perkapalan dunia yang berpusat di Inggris.

Untuk adik, dengan yakin saya sampaikan bahwa dirinya pun berhasil untuk “membalik nasib”. Saat SMA dia sudah sangat aktif di organisasi, mulai dari OSIS SMAN 3 Denpasar, paskibra daerah Bali, Jegeg Bagus Trisma, dan aktifitas lainnya. Saya akui, dalam hal tersebut dia jauh lebih baik dari saya. Pernah suatu ketika saya berkunjung ke almamater kami tersebut, bahkan 3 angkatan dibawahnya masih mengenal sosok adik saya ini. Beda dengan sang kakak yang bahkan teman seangkatannya sendiri ada yang tidak kenal :), tolong ingat bahwa IQ saya hanya 100, hanya berada di kelas rata – rata, sehingga untuk mengingat nama temanpun menjadi sedikit susah.

Saat adik menempuh pendidikan di STPI pun ia melakukan hal yang sama. Sangat aktif dalam berbagai kegiatan dan dikenal sebagai pria yang mudah bergaul. Tidak heran dia sering menjadi ketua dalam berbagai kegiatan kampus. Saya ingat saat saya mengurus visa untuk ke Amerika di Jakarta, mampir ke “kontrakan” adik. Saat itu terlihat betapa berkembangnya sosok satu ini, menjadi perantau yang tangguh, pelaksana mimpi yang handal, dan penikmat hidup yang luar biasa. Semester pertama ia tutup dengan hasil yang luar biasa, peserta didik terbaik! Saya yakin Ibu dan Bapak sangat bangga terhadapnya, selain pendidikannya yang tidak memberatkan keuangan orang tua, juga karena prestasinya yang luar biasa. Banyak hal yang saya yakin berhasil dilakukannya, namun mohon maaf tidak banyak yang dapat saya ceritakan karena dia mewarisi sifat bapak yang tertutup. Akhir pendidikannya ditutup dengan tidak kalah indah, lulus sebagai wisudawan terbaik Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.

2012 menjadi tahun yang luar biasa, keluarga kecil ini telah memiliki seorang insinyur perkapalan dan insinyur pesawat udara. Perjalanan keluarga kecil ini masih panjang, masih di tiga tempat, satu cinta.

Jakarta, 14 September 2014 – 21:01 wib

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: